Breaking News

Sejarah Rohingya, dari Komunitas Elite Menjadi Pengungsi tanpa Negara


Sejarah komunitas Rohingya di Asia Tenggara bermula di wilayah pesisir Arakan, sebuah kerajaan maritim tua di pesisir Teluk Benggala. Sejak abad ke-4 Masehi, Arakan sudah menjadi pusat pertukaran budaya dan perdagangan antara India, Burma, dan kawasan Samudra Hindia. Catatan arkeologis menunjukkan Arakan lebih dahulu dipengaruhi kerajaan-kerajaan India sebelum bangsa Burma datang dari pedalaman.

Para pedagang Arab mulai memasuki wilayah ini sekitar abad ke-9 Masehi, melalui jalur laut yang ramai dilalui kapal-kapal dari Timur Tengah menuju Asia Tenggara. Mereka tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat yang saat itu mayoritas penganut Buddha. Konversi penduduk Arakan kepada Islam mulai terlihat sekitar abad ke-8 hingga 9 Masehi menurut sejumlah sejarawan Muslim.

Selain berdagang dan berdakwah, para saudagar Arab dan Persia itu menikah dengan perempuan lokal, membentuk komunitas Muslim awal yang kelak berkembang menjadi cikal bakal Rohingya. Dari percampuran etnis lokal dengan keturunan pedagang Muslim inilah lahir populasi yang memiliki bahasa khas berbasis Bengali, bercampur kata-kata Arab, Urdu, dan Persia.

Pada abad ke-15, situasi politik di Arakan mengalami perubahan besar. Raja Min Saw Mon yang sempat diasingkan ke Kesultanan Bengal selama 24 tahun, kembali ke tahta Arakan dengan bantuan pasukan Muslim Bengal. Sejak saat itu, Muslim Bengali mulai bermukim secara permanen di Arakan, membawa budaya, arsitektur, dan sistem pemerintahan Islam yang memengaruhi istana Arakan hingga berabad-abad berikutnya.

Keberadaan komunitas Muslim di Arakan tidak pernah bisa dilepaskan dari hubungan politik dengan Bengal. Raja-raja Arakan kerap mengadopsi gelar-gelar Islam dan mencetak koin bertuliskan aksara Persia, menandakan betapa eratnya pengaruh Muslim di wilayah itu. Bahkan, beberapa Muslim Arakan dipercaya menempati posisi penting di istana sebagai juru tulis, menteri, hingga penasihat raja.

Meski pengaruh Bengal sempat meredup, para Sultan Arakan tetap mempertahankan adat-istiadat Islam dalam lingkungan kerajaannya. Muslim di Arakan terus berkembang sebagai pedagang, pelaut, ulama, hingga tentara yang menjadi bagian penting dalam struktur sosial kerajaan. Bukti kehadiran mereka tertulis dalam peninggalan masjid-masjid tua, koin, dan manuskrip yang tersisa.

Ketika penjajahan Inggris memasuki Burma pada abad ke-19, wilayah Arakan menjadi rebutan kekuatan kolonial. Inggris mendatangkan ribuan pekerja Muslim dari Bengal ke Arakan untuk menggarap perkebunan dan tambak. Meraka berasimilasi dengan warga lokal hingga memperbesar populasi Rohingya di kawasan itu. Namun, kondisi ini justru memperkeruh hubungan etnis dengan penduduk Rakhine Buddhis yang merasa terancam secara demografis.

Di era ini sampai kemerdekaan, banyak tokoh Rohingya muncul bahkan menjadi kelompok elite, pejuang kemerdekaan dan pedagang sukses. Setelah Burma meraih kemerdekaan tahun 1948, agenda supremasi Buddha mulai menguat yang membuat situasi Muslim Rohingya kian sulit. 

Pada saat kemerdekaan India yang ditandai dengan partisi Pakistan dan India, sebagian warga Rohingya bersimpati pada Pakistan Timur yang belakangan menjadi Bangladesh. Baik India maupun Myanmar yang dulu bernama Burma merupakan jajahan Inggris.

Pada masa itu, sebagian kelompok Muslim di Arakan sempat mengangkat senjata menuntut wilayah otonom atau bergabung dengan Pakistan Timur. Pemberontakan tersebut mendapat respons keras dari pemerintah Burma, yang makin menstigmatisasi Rohingya sebagai ancaman nasional.

Selama dekade 1950-1970-an, puluhan ribu Muslim Rohingya terpaksa mengungsi ke Bangladesh akibat operasi militer Burma. Ketegangan ini berulang setiap kali ada konflik di perbatasan. Rohingya mulai kehilangan hak-hak kewarganegaraan mereka secara sistematis, hingga puncaknya pada tahun 1982, ketika pemerintah Burma memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan yang tidak mengakui Rohingya sebagai etnis resmi negara.

Sejak saat itu, Rohingya resmi menjadi kelompok stateless atau tanpa kewarganegaraan. Mereka diperlakukan sebagai imigran ilegal di tanah leluhur sendiri. Pembatasan aktivitas, diskriminasi, hingga pelanggaran HAM menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Situasi ini diperparah dengan gelombang kekerasan sektarian yang pecah beberapa kali di wilayah Rakhine.

Tragedi kemanusiaan terbesar terjadi pada tahun 2017, ketika militer Myanmar melancarkan operasi pembersihan etnis atau genosida terhadap Rohingya. Lebih dari 700 ribu orang melarikan diri ke Bangladesh dalam waktu singkat. Kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar menjadi rumah darurat bagi ribuan keluarga yang kehilangan segalanya.

Di pengungsian, Rohingya hidup dalam ketidakpastian. Mereka tak diakui sebagai warga negara Myanmar, ditolak kembali ke kampung halaman, dan nyaris tak punya pilihan untuk berpindah ke negara lain. Bangsa yang pernah berjaya sebagai pedagang, pendakwah, dan pejabat istana, kini terpaksa hidup di kamp-kamp pengungsian di bawah status stateless.

Sejarah panjang Rohingya menjadi catatan penting tentang bagaimana identitas etnis dapat berubah dari kelompok elite dan pelaku sejarah menjadi korban penindasan politik dan diskriminasi negara. Perjalanan mereka mencerminkan nasib minoritas Muslim di Asia Tenggara yang terpinggirkan di tengah arus nasionalisme etnis mayoritas.

Hingga hari ini, isu Rohingya tetap menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia. Komunitas internasional berulang kali mendesak Myanmar untuk memulihkan hak-hak Rohingya, namun pemerintah militer tetap bergeming. Ratusan ribu anak Rohingya tumbuh tanpa kewarganegaraan, pendidikan layak, dan akses kesehatan yang memadai.

Ironisnya, komunitas yang dahulu menjalin relasi dagang dan politik lintas Samudra Hindia, kini terkunci di balik kawat berduri kamp pengungsian. Rohingya menjadi simbol tragedi kolonialisme modern, di mana warisan sejarah dijadikan dalih untuk menyingkirkan kelompok minoritas dari peta sosial dan politik suatu bangsa.

Penting bagi sejarah Asia Tenggara untuk mencatat peran Rohingya, bukan sekadar sebagai korban, tapi sebagai pelaku sejarah maritim dan budaya yang membentuk kawasan Teluk Benggala sejak ribuan tahun lalu. Nasib Rohingya hari ini adalah pengingat bahwa identitas etnis yang kuat sekalipun dapat runtuh di hadapan kekuasaan politik yang memanipulasi sejarah demi kepentingannya sendiri.

Tidak ada komentar